PROFIL

Foto saya
Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Saya seorang laki-laki lahir di kota Bekasi yaitu Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 5 September 1983. Saya sekolah dasar di SDN Setia Budi Cikarang kemudian melanjutkan ke SLTP di MTS Anwarul Falah Cikarang, lalu sekolah SLTA saya di MAN Cikarang, kemudian saya melanjutkan studi ke Universitas Gunadarma Jakarta pada Fakultas Ilmu Komputer Jurusan Manajemen Informatika dengan jenjang Diploma 3 dan saya melanjutkan ke S-1 di Universitas Mulawarman pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dengan Jurusan Ilmu Komputer. Sekarang saya sudah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Instansi Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III)Lembaga Administrasi Negara Samarinda.

Kamis, 24 Januari 2008

TENTANG SEBUAH NEGERI YANG MEMPRIHATINKAN

Sebuah Kisah Tentang Korupsi
Siang itu saya berkesempatan makan bersama seorang teman. Teman saya ini dulunya adalah maniak pemanjat tower, kesehariannya adalah memanjat tower dan pointing antenna. Namun kini dia terlibat dalam proyek-proyek besar Teknologi Informasi untuk Pemda-pemda.
Dalam kesempatan itu, berkali-kali saya lihat dia agak lesu dan seperti melamun sendiri. Setelah saya pancing-pancing ternyata dia sedang bermasalah dengan proyeknya yang terakhir, dimana ada kesalahan perhitungan sehingga dana meleset sangat besar, hingga mencapai ratusan juta.
Namun, setelah itu, dia kemudian menceritakan kepada saya tentang apa yang dia lakukan dalam beberapa bulan ini, yang akhirnya memberi gambaran gamblang kepada saya tentang busuknya negeri ini. Dalam kesempatan itu pula, dia menunjukkan aliran dana di rekening tabungannya. Buset! Dalam tiga bulan terhitung hampir 9 Milyar uang beredar melalui rekening tersebut. Untuk apa saja? Tidak jelas, yang saya tangkap hanyalah uang tersebut kemudian lari ke beberapa person (yang notabene adalah eksekutif, legislatif dan yudikatif negeri ini).
Saya terus terang tidak ingin mendengar detil tentang hal itu, saya sudah muak duluan. Sambal pedas yang tadinya sudah mulai hilang rasanya di mulut, tiba-tiba saja menyebarkan aroma pedasnya bahkan hingga ke permukaan kulit.
Dengan Dana Itu, Mustinya…
Yang terlintas di benak saya kemudian adalah bayangan berita kelaparan yang melanda berbagai daerah di negeri ini. Juga tentang terbengkelainya para korban LAPINDO sementara bosnya yaitu Aburizal Bakrie tetap melenggang dengan dagu panjangnya. Juga terbayang bagaimana tidak meratanya bantuan korban gempa di Bantul. Lantas terlintas juga tentang Aceh, Bengkulu, Yahukimo, dan masih banyak lagi, berseliweran di kepala.
Mari kita hitung saja, dalam tiga bulan (taruhlah satu bulan ada 30 hari) yang berarti 90 hari, terkumpul 9 Milyar. Berarti per hari uang berputar hampir 100 Juta rupiah. Oh mari saya tulis dengan angka semua, Rp. 100.000.000,- per hari. Biaya sekali makan di Jogja, yang paling mewah, adalah Rp. 10.000,- berarti dalam sehari bisa memberi makan 10.000 orang.
Atau marilah kita lihat saja sebagai biaya pendidikan. SPP sebuah Sekolah Dasar, yang bagus dan terbilang mahal di Jogja, adalah Rp. 500.000,-. Hal itu berarti uang satu hari tersebut bisa untuk membiayai dua orang anak hingga lulus SD. Apalagi kalau disekolahkan di SD yang tergolong “biasa” alias SD Negeri di kampung, bisa jadi untuk membiayai lebih dari 10 (sepuluh) anak. Itu baru uang satu hari, nah kalau 90 hari? Silakan hitung sendiri.
Dan kenyataannya, anak-anak terlantar masih banyak. Kurus dan tidak sekolah. Belum lagi kalau mengingat masih ada rekening-rekening lain yang digunakan untuk tempat singgah uang-uang raksasa tersebut. Miris saya.
Segumpal Dagingkah di Dada Mereka?
Tuhan berkata kepada manusia, di dalam diri kita terdapat segumpal daging. Jika buruk daging itu, maka buruklah semuanya, dan jika baik niscaya baik semuanya. Setelah merenung sekian lama, aku semakin sangsi apakah memang ada segumpal daging di diri mereka? Jangan-jangan hati mereka sudah membatu.
Ada yang meminta diantar uang Rp. 400.000.000,- secara cash ke kantornya, demikian lanjutan kisah teman saya tadi. Uang yang bahkan sepersepuluhnya itu saja, saya belum pernah menyimpan secara cash di tas saya, kepala saya jadi pusing membayangkannya. Terbayang sebuah skenario untuk menghindari endusan KPK. Jadi berfikir, apakah kalau kita mencegat orang-orang yang akan menemui tokoh-tokoh penting di negeri ini, kita akan mendapati bergepok-gepok uang di tas mereka? Dengan cerita ini, saya jadi bisa bilang, “sangat mungkin”.
Dan uang itu mustinya menjadi hak dari setiap warga di negeri ini. Warga yang selalu saja harus bersabar menghadapi himpitan hilangnya minyak tanah, naiknya harga pertamax dimana nantinya akan disusul dengan menghilangnya premium, dan seterusnya dan lain sebagainya.
Jelas sudah, hati mereka, orang-orang yang terlibat dalam aliran dana itu, pastilah membatu. Tidak ada perasaan bersalah ketika mereka melihat di perempatan para miskiners membuang malu meminta-minta sedekah. Mungkin receh bisa keluar dari saku mereka, tapi membayangkan mereka membuat satu lapangan pekerjaan bagi para miskiners ini? Ndak mungkin!
Nah, bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, cobalah untuk membuka diri. Adakah hati di dalam diri sampeyan?
vale, demi kejujuran
el rony, masih tidak habis pikir, mengakibatkan tulisan yang tidak runut dan tidak berisi. maaf.

PENGGANTI NAMA, MENJADI BUDAYA

Malam ini saya ngobrol enteng dengan istri saya. Obrolan berkisar nama anak. Kami coba mengamati, dengan tidak serius dan tanpa pedoman ilmiah, perkembangan nama-nama anak. Berangkat dari nama kami sendiri, hingga tebaran nama-nama anak “jaman sekarang”. Dan kami sampai pada sesuatu yang menarik.
Nama anak ternyata mengalami perkembangan sesuai jamannya. Di setiap jaman, muncul apa yang mungkin bisa disebut sebagai “trend” nama. Trend tersebut entah disebarluaskan dan ditularkan melalui media apa, mungkin melalui “getok tular” alias mulut ke mulut, atau mungkin juga melalui media. Karena obrolan ini sama sekali tidak ilmiah, maka saya akan menyajikannya hanya dalam bentuk tipe-tipe nama anak tanpa batasan jelas periodenya.
Nama Jawa
Tentu saja ini hanya berlaku bagi orang Jawa. Nama-nama ini muncul mungkin di seputar tahun-tahun kelahiran saya (yang tidak jauh dari istri, hanya terpaut 2 tahun). Sebut saja misalnya Eko, Edi, Adi, Sugeng, Retno, Dyah, Dian, dan lain-lain. Kami menemukan bahwa teman seangkatan kami banyak yang memiliki nama tersebut.
Selain itu, muncul juga nama-nama yang diambil dari tokoh pewayangan seperti Yudhis (kami “menuduh” nama ini diambil dari Yudhistira tokoh pandawa), Bimo, Krishna, dan masih banyak lagi. Dalam pandangan sekilas kami, nama-nama ini seakan menjadi trend pada masa itu.
Nama Islami/Religius
Wajar jika orang Islam menamai anaknya dengan nama yang berbau arab. Juga jika mengambil nama-nama Nabi/Rasul untuk anak mereka. Dalam hal ini maka Nabi Muhammad SAW kami yakini menduduki peringkat tertinggi. Silakan hitung sendiri teman anda yang bernama Muhammad atau Ahmad, pastilah nama ini paling banyak di antara nama yang lain.
Selain beliau, masih banyak nama nabi yang lain yang juga cukup populer untuk dipakaikan pada anak, sebut saja Ibrahim, Yusuf, dan masih banyak lagi. Setelah nama nabi, yang menduduki peringkat kedua (sekali lagi menurut kami, tanpa penelitian ilmiah) adalah nama sahabat nabi. Umar, Usman, Ali, dan yang lain lagi.
Trend Nama Anak Masa Kini
Berangkat dari identifikasi kasar itu, kami mulai mencoba mengumpulkan indikator trend nama anak masa kini. Kami coba cari nama-nama anak yang sering muncul di media, tentu saja anak-anak selebritis maupun kyai yang nyeleb. Dan kesimpulan sementara kami nama masa kini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Mengandung huruf Z. Makin banyak huruf Z, makin nampak masa kini-nya
Selain huruf Z, huruf Y dan Q juga penting. Silakan amati nama-nama anak yang mungkin baru lahir
Kadang bahkan nama yang ada seakan tanpa makna. Yang penting bertebaran huruf Z, Y, Q. Semakin sulit dilafalkan, seakan semakin mantap dijadikan nama.
Kalau kita kembali ke masa sangat-sangat dulu, maka nama-nama tokoh kita bahkan mengambil dari nama binatang. Sebut saja Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan yang lainnya. Tampaknya tidak terlalu dipusingkan mengenai makna dari nama itu. Dan tampaknya, trend itu kembali muncul di masa kini, dengan model yang lebih sulit untuk ditulis dan membuka kemungkinan salah-tulis maupun salah-ucap.
Ah, tapi ini jangan terlalu dianggap serius ya, ini cuma selorohan kami. Tulisan ini hanya gelitikan di dalam hati saja, yang sementara ini kami anggap cukup asyik untuk dituliskan. Namun saya jadi teringat dengan Almarhum Pak Usman. Tetangga saya yang memiliki 15 orang anak dan kesemuanya saat ini “jadi orang”. Sukses semua pokoknya, bahkan salah satu anaknya adalah pendiri Partai Keadilan, artinya jadi orang penting. Nah, alkisah Pak Usman ini sedang menunggu kelahiran putrinya yang bungsu. Beliau menyempatkan untuk nonton film, bareng bapak saya. Dan selesai nonton, beliau terkenang-kenang dengan tokoh di film itu, Eva Arnas. Akhirnya anak beliau yang bungsu diberi nama Eva. Apakah ini juga termasuk alasan munculnya trend? Yang jelas pada masa anak bungsunya ini lahir, nama Eva juga mulai banyak beredar.
Wah, tulisan saya kok ndak ilmiah lagi ya. Tapi ya sudahlah, memang segini saja kemampuan saya
vale, demi kesehatan
el rony, “ngelus-elus boyok”